Imogiri, Smpmarifimogiri.sch.id–Hari ini, 1 Juli merupakan hari besejarah bagi institusi Kepolisian Republik Indonesia atau Polri. Pada hari ini, Polri merayakan hari perubahan organisasi kepolisian yang didasarkan atas Penetapan Pemerintah Tahun 1946 No. 11/S.D. Keluarga besar SMP Ma’arif Imogiri punya pengalaman khusus terkait peringatan ini, yaitu peringatan Hari Bhayangkara 2011.
Ketika itu, Polri melalui Divisi Propam menyelenggrakan kompetisi menulis esai dan foto. Sabjan Badio yang saat ini menjadi Kepala SMP Ma’arif Imogiri turut dalam kompetisi tersebut.
“Waktu SMP Ma’arif Imogiri akan jalan-kalan ke Jawa Timur, teman-teman sibuk dengan persiapan akomodasi. Sementara itu, saya sibuk menyelesaikan esai,” kenang Sabjan.
“Satu jam sebelum keberangkatan sekaligus merupakan deadline pengiriman esai, tulisan saya selesai. Saya kirim melalui e-mail, kemudian bergabung dengan teman-teman untuk ke Jawa Timur,” lanjutnya.
Dalam kompetisi tersebut, dia menulis esai dengan judul “Awas Ada Polisi!”. Dirinya mengisahkan bagaimana polisi sering dijadikan sebagai alat untuk menakut-nakuti. Ketika ada anak menangis, tidak menurut kepada orang tua, dan lain-lain, sering ditakut-takuti dengan polisi. Padahal, tidak demikian tupoksi polisi.
Sabjan menceritakan pengalaman keluarganya jalan-jalan, mengalami masalah, polisilah salah satu tempat bertanya yang paling terpercaya. Dirinya dan keluarga merasakaan betul betapa terbantunya dengan adanya polisi.
“Waktu itu, di terminal masih keras, banyak calo, preman juga banyak. Kalau kita bawa barang, akan ditarik-tarik untuk dipaksa masuk ke bus tertentu sesuai dengan tujuan perjalanan kita. Masalahnya, dengan ditarik-tarik seperti itu, kita tidak bisa memilih bus yang diinginkan dan harga yang ditetapkan calo jauh lebih tinggi dari harga agen. Untuk menghindari ditarik-tarik seperti itu, kadang kami berlindung di pos polisi,” cerita Sabjan.
Pengalaman-pengalaman seperti itu dituangkannya dalam esai yang dilombakan di Divisi Propam Mabes Polri 2011. Karya tersebut dinyatakan sebagai salah satu pemenang. Informasi tersebut diterimanya melalui telepon dari Bidang Propam Polda DIY dan Unit Propam Polres Bantul. Sabjan pun diundang ke Polda DIY untuk bertemu dengan Kabid Propam ketika itu.
Dari pertemuan dengan Kabid Propam itulah, Sabjan mengetahuai bahwa dia dan beberapa orang lain diundang ke Mabes Polri, tepatnya di Gedung Induk Mabes Polri. Pada saat itu diinformasikan bahwa dirinya harus tiba di Jakarta keesokan harinya.
“Pada hari keberangkatan, saya dan beberapa yang lain, diundang ke Polda DIY. Dari Polda, kami langsung ke bandara untuk menuju ke Mabes Polri. Kami dikawal oleh seorang perwira intelijen dari bidang Propam,” ungkapnya.
Oleh karena pengawalan dilakukan bagian intelijen, tidak ada identitas polisi yang terlihat. Pada perjalanan ke bandara, dirinya diberi tahu bahwa walau berpelat hitam, kendaraan yang mereka gunakan merupakan mobil dinas kepolisian, ditandai dengan pelatnya yang berkode RFP.
“Jadi, perwira yang mengawal, perwira yang menjadi driver, perwira yang memandu, semuanya menggunakan pakaian sipil.”
Perjalanan ini menjadi begitu mengesankan, karena pertama kali Sabjan naik pesawat dan kereta api.
“Usia saya ketika itu masih 20-an dan baru saja keluar dari perusahaan dan menjadi guru. Hari-hari saya dihabiskan di kantor. Jika keluar, saya menggunakan sepeda motor, mobil, atau bus. Jadi, keberangkatan ke Mabes Polri ini pengalaman pertama saya menumpang pesawat.”
“Sampai di Jakarta, kami dijemput perwira intelijen dari Mabes Polri, masih menggunakan mobil pelat hitam. Kami dibawa ke hotel milik organisasi purnawirawan Polri di Jakarta Selatan.”
“Di hotel kami disambut perwira menengah yang lagi-lagi tidak berseragam. Kami diberi berbagai wejangan terkait kegiatan esok hari di Mabes. Di hotel tersebut saya juga bertemu perwira polisi yang juga berstatus sebagai tamu undangan. Kalau tidak salah, saat itu dia baru lulus dari Akpol dan menjadi Ajudan Kepala Divisi Humas Mabes Polri.”
“Kesokan harinya, baru kami ke Gedung Induk Mabes Polri, tepatnya Ruang Perjamuan Kapolri. Menurut perwira yang mengantar kami, itu ruangan biasanya digunakan untuk menjamu tamu-tamu penting Kapolri. Dia beberapa kali ke gedung induk, tapi pintu ruangan perjamuan selalu tertutup.”
“Di Mabes Polri kami bertemu dengan seluruh pejabat utama Mabes Polri, termasuk Kapolri. Perwira tinggi yang absen waktu itu Komjen Susno Duadji, kalau tidak salah dia memang dalam posisi tanpa jabatan.“
“Saya ingat waktu gladi bersih, semua tamu berpakaian hitam. Sebagian besar tidak saya kenali. Nah, perwira yang mengantar kami bertanya kepada salah satunya. Hal yang membuat saya terkejut, kalimatnya diselipi dengan kata “jenderal”. Ternyata yang berpakaian hitam-hitam itu adalah para perwira tinggi Mabes Polri,” Sabjan mengenang.
“Saya juga sempat bertemu dan berbicara dengan Kepala BNPT Komjen Boy Rafly yang tenar di televisi ketika itu yang berada di luar ruangan dekat pintu masuk. Waktu itu dia baru berpangkat komisaris besar atau brigadir jenderal polisi, tepatnya saya lupa.
“Kami hanya menginap semalam di Jakarta. Keesokan harinya, menuju Stasiun Gambir. Kami masih ditemani perwira dari Polda DIY dan perwira dari Divisi Propam Mabes Polri. Di Stasiun Gambir kami disambut oleh Kapospol Gambir. Perwira itulah yang memesankan kami tiket kereta.”
“Perjalanan itu juga menjadi perjalanan kereta pertama saya. Bayangkan, usia dua puluh tahunan, saya baru sempat naik kereta, haha,” ungkap Sabjan sambil tertawa.
“Banyak cerita menarik dari perjalanan tersebut, perjalanan yang bertepatan dengan hari bahagia Polri karena dalam rangka Hari Bhayangkara 2011.”
“Dirgahayu Polri!” tutup Sabjan. (*)
Leave a Reply